PRAKTIKUM MK. KOPERASI DAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS
“Peran Koperasi dalam Perekonomian dan Pembangunan
Sistem Agribisnis”
Oleh:
Dila
Ratnasari (H34100013), Tuty Rachmawati (H34100028), Adelina
Fitri (H341000), Sri Yulianti (H34100071), Sabilil Hakimi (H34100149), Sabila
Mumtaz Khandari (H34100150)
Nilai
|
|
Dosen Praktikum :
Feryanto W K, SP, M.Si
Hari/Tanggal : Kamis / 21 Februari 2013
Praktikum : Minggu Ke-II
Ruang : RK AGB 202A
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kenyataan dalam sejarah peradaban
dunia bahwa tidak ada satu pun negara yang berhasil berkembang dan maju dengan
mengesampingkan sektor pertanian. Berhasil atau tidak
berkembangnya sektor pertanian disuatu negara akan berbanding lurus pada
perekonomian negara. Di Indonesia, berkecimpung dan berperan aktif di dunia
usaha pertanian akan dihadapkan banyak faktor-faktor hambatan yang menjadikan
petani sulit untuk berkembang.
Sistem
agribisnis yang digembor-gemborkan untuk diterapkan di pertanian selama ini
hanya sebatas menjadi teori. Kenyataannya di lapangan atau di sektor riilnya
masih jauh dari teori tersebut. Sejauh ini, sistem agribisnis secara ideal
belum bisa diterapkan kepada petani kecil karena masih lemahnya dukungan
kelembagaan dari segala sisi baik pemerintah, akademisi (perguruan tinggi),
maupun swata. Oleh karena itu, bantuan dan dukungan dari segala sisi dapat
memerdekakan petani.
Berdasarkan
teorinya, sistem agribisnis adalah suatu rangkaian kegiatan usaha pertanian
yang didalamnya terdapat beberapa sub-sistem/cabang kegiatan yang memliki
keterkaitan untuk saling mendukung dan mempengaruhi antar sub-sistem.
Setidaknya ada lima sub-sistem yang saling terkait tersebut (Krisnamurthi dan
Saragih, 1992). Kelima subsistem tersebut adalah (1) sub-sistem faktor input
pertanian, (2) sub-sistem Usahatani, (3) sub-sistem pengolahan hasil pertanian,
(4) sub-sistem pemasaran, dan (5) sub-sistem Penunjang. Pendekatan sistem agribisnis erat kaitannya dengan peran
kelembagaan di dalamnya (Zaki dan Fakhruddin, 2012).
Kelembagaan petani memiliki titik strategis (entry point)
dalam menggerakkan sistem agribisnis pada petani kecil yang terpencar-pencar di
pedesaan. Pada dasarnya kelembagaan memiliki dua pengertian,
yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main dalam interaksi personal dan
kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki (Hayami dan
Kikuchi, 1981). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan
aturan baik formal dan informal mengenai tata hubungan manusia dan
lingkunagnnya yang menyangkut hak-hak, perlindungan hak dan tanggung jawab.
Sedangkan kelembagaan sebagai suatu organisasi menurut Winardi (2003), dapat
dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang dengan sadar memberikan
sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu tujuan umum. Manfaat
utama lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial
masyarakat, dan sebagai kontrol sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur
perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan Darwis, 2003).
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui Potensi sektor Agribisnis Indonesia
2. Mengidentifikasi permasalahan-permasalah yang
menghambat pembangunan pertanian Indonesia
3. Memaparkan solusi dan upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan petani
Manfaat
Penulisan
Makalah ini
bermanfaat untuk menganalisis dan identifikasi dari peran koperasi dalam
membangun perekonomian bangsa serta sebagai solusi dalam peningkatan
kesejahteraan petani dengan mengurai permasalahan-permasalahan sektor
agribisnis yang menjadi penghambat kemajuan pertanian.
PEMBAHASAN
POTENSI SEKTOR AGRIBISNIS
Indonesia memiliki banyak potensi pertanian yang
secara logika dapat dengan baik menjalankan sistem agribisnis karena kita bisa
melihat dibandingkan dengan negara lain, negara kita banyak sekali kekayaan
alam, melimpahnya bahan baku industri dan lain- lain. Namun sayangnya, sistem
agribisnis di Indonesia belum berjalan dengan baik sesuai dengan funsinya
masing- masing hal ini terjadi karena beberapa hal yaitu:
1.
Revitalisasi
pertanian dan pencanangan keberpihakan pemerintah pada sektor ini masih
berputar pada tataran konsep dan wacana, sementara kenyataan yang menghadang
semakin petani sulit bernafas.
2.
Adanya keterbatasan bahan baku yang memiliki kualitas
yang tinggi karena masih sulitnya pendanaan dan teknologi usahatani yang sesuai
requirement bahan baku pertanian, kapabilitas sumberdaya manusia yang
belum baik terkait kemampuan menggunakan teknologi yang berdampak pada
efisiensi industri menjadi lebih rendah dari negara pesaing. Penyebab masalah
tersebut adalah lemahnya pemberdayaan sumberdaya manusia berbasis riset dan
sosialisasi hasil riset tersebut yang belum optimal terhadap masyarakat
pertanian.
3.
Kebijakan pertanian yang ditetapkan pemerintah kerap
tumpang tindih dan saling melakukan kanibalisme.
4.
Adanya penerapan suku bunga kredit usaha yang sama
ditetapkan antara sektor agribisnis dan non agribisnis. Adapun sektor
agirbisnis memiliki karakteristik yang lebih berisiko dari sektor non
agribisnis sehingga penetapan suku bunga pinjaman usaha yang disama ratakan
adalah tindakan yang kurang proposional.
5.
Dalam pengembangan agroindustri di Indonesia adalah
rendahnya peningkatan kualitas dan mutu riset dari kalangan akademisi terkait
pembaharuan teknologi di sektor agroindustri, sehingga Indonesia masih
tergantung kepada tren teknologi yang ada di dunia tanpa melakukan inovasi guna
memunculkan kekuatan diferensiasi produk pertanian Indonesia.
6.
Ketersediaan saran dan prasarana yang mendukung
pengembangan pertanian di Indonesia masih belum berjalan sesuai harapan yang
diinginkan petani.
Jika
kita lihat, sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis
dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Benar seperti yang dikatakan
oleh penulis, bahwa sektor pertanian kita “buram”. Sektor pertanian tidak
mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa.
Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang
menguntungkan bagi sektor ini. Program-program pembangunan pertanian yang tidak
terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran.
Meski demikian sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan
tenaga kerja dan sebagian besar penduduk kita tergantung padanya.
Beberapa
gambaran yang menunjukkan beberapa sektor pertanian semakin memprihatinkan
yaitu data kemiskinan dari BPS dapat menjadi gerbang awal untuk melihat
kronisnya kondisi sektor ini. Jumlah rakyat miskin Indonesia 37,17 juta oraang
atau16,59% dari total penduduk. Sebanyak 23,61 juta penduduk miskin itu berada
di daerah pedesaan dan umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor
pertanian. Bahkan 72 persen kelompok petani miskin adalh dari sunsektor
pertanian pangan (BPS, 2007).
Data
lain menunjukkan laju konversi lahan pertanian relatif tinggi. Jika tahun 2002
konversi lahan pertanian baru mencapai 110 ribu ha, pada empat tahun terakhir
melonjak hingga 145 ribu ha. Informasi ini memberikan indikasi tentang semakin
tidak menariknya sektor pertanian dibanding sektor lain. Petani lebih rela
menjual lahan pertaniannya karena hasil panen dari tahun ke tahun sering tidak
mampu mencukupi kebituhan hidupnya. Akibatnya banyak lahan pertanian yang
dikonversi menjadi perumahan dan industri sektor lain.
Jumlah
penduduk yang terus meningkat mengindikasikan betapa seriusnya tantangan dalam
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Pada titik tertentu ketika pertumbuhan
penduduk tidak terkejar oleh pertumbuhan subsektor pertanian, kebijakan impor
bahan pangan menjadi sebuah solusinya. Ini merupakan persoalan yang sudah
menjadi rahasia umum bahwa impor kebutuhan pokok dari berbagai negara menjadi
prolog dari episode buram sektor pertanian.
Dengan
alasan untuk kestabilan harga, pemerintah terus melakukan impor barang
kebutuhan pokok tersebut. Misalnya pemerintah mengimpor 40 ribu ton beras
kualitas premium dari Thailand. Padahal, bahan pokok beras jenis premium selama
ini diwakili oleh beras Cianjur dan IR- 64. Tentu petani tidak banyak mendapat
manfaat dari kebijakan ini.
Kita
juga bisa melihat dari data produktivitas pekerja Indonesia yang
mengindikasikan tidak sehatnya kondisi sektor pertanian. Pada tahun 1997
seorang pekerja sektor pertanian hanya menghasilkan output senilai Rp. 1,7 juta
selama satu tahun, sedangkan pada tahun yang sama seorang pekerja sektor
industri menghasilkan Rp. 9,5 juta. Pada tahun 2005 pekerja di sektor pertanian
menghasilkan Rp. 6,1 juta, sementara pekerja di sektor industri dapat meraup
hingga Rp. 41,1 juta (BPS, 2006).
Dari
beberapa gambaran diatas kita dapat melihat nasib petani dari waktu ke waktu
cukup memprihatinkan. Maget sektor pertanian semakin melemah, daya pikatnya
semakin menurun, sementara sektor industri yang dijadikan gantungan hidup.
Perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat
menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani
dan kontribusinya pada pendapatan nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia
dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa hal yang
mendasari mengapa pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting,
antara lain: potensi Sumber Daya Alam yang besar dan beragam, pangsa terhadap
pendapatan nasional yang cukup besar, besarnya pangsa terhadap ekspor nasional,
besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini,
perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di
pedesaan. Potensi pertanian Indonesia yang besar namun pada kenyataannya sampai
saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk golongan
miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah kurang memberdayakan petani
tetapi juga terhadap sektor pertanian keseluruhan.
Faktor-Faktor Hambatan Pertanian Khususnya Masalah Kelembagaan Pertanian.
1. Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan
kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau
program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program, dan kurang
menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok.
2. Partisipasi
dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah,
ini tercermin dari tingkat kehadiran anggota
dalam pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%)
3.
Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu.
Kelompok sebagai forum kegiatan bersama
belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan
anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol.
Kegiatan atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah
kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang
terbatas.
4.
Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan
jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan
politik yang berjalan.
5.
Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal.
Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang
dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya
tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme
pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.
6. Meskipun
kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada
pengurus. Pembinaan kepada kontaktani memang
lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan
kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach.
7.
Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah
dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih
dahulu, namun tidak diikuti oleh
pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri
pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia.
Permasalahan yang dihadapi petani pada umumnya
adalah lemah dalam hal permodalan. Akibatnya tingkat penggunaan saprodi rendah,
inefisien skala usaha karena umumnya berlahan sempit, dan karena terdesak
masalah keuangan posisi tawar ketika panen lemah. Selain itu produk yang
dihasilkan petani relatif berkualitas rendah, karena umumnya budaya petani di
pedesaan dalam melakukan praktek pertanian masih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan keluarga (subsisten), dan belum berorientasi pasar. Selain masalah
internal petani tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti infrastruktur,
lembaga ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan, dan kebijakan pemerintah sangat diperlukan, guna
mendorong usahatani dan meningkatkan akses petani terhadap pasar (Saragih,
2002).
Menurut pendapat kami memang terdapat penyimpangan
dalam pembangunan pertanian kita yang
timbul pada petengahan tahun 1997 karena adanya kebijakan hyper- pragmatis yang
menjadikan ekonomi nasional sebagai ladang bisnis bagi sekelompok konglomerat
sehingga sektor pertanian menjadi korbannya yang seperti yang di katakan Andrinof A Chaniago (2001) ,kegagalan
pembangunana yang di alami Indonesia bukan hanya karena persoalan ekonomi .
kegagalan itu juga di sebabkan oleh pelapukan dalam periode yang panjang
terhadap struktur sosial dan politik.Faktanya Pada awal masa orde baru
pertumbuhan ekonomi cukup baik ,namun
kejayaan itu dihapuskan karena lahirnya kebijakan pemerintah yang tidak lagi
berpihak pada sektor pertanian dan petani kecil. Kebijakan hyper-pragmatis
menjadikan pembangunan ekonomi nasional sebagai ladang bisnis bagi sekelompok konglomerat sehingga
menyebabkan timbulnya ketimpangan pertumbuhan antar sektor dimana sektor
pertanian menjadi korbannya. Ketimpangan inilah yang menyebabkan permasalahan
yang timbul pada akhir masa pemerintahan orde baru yang menjadikan proses
pemulihan ekonomi Indonesia masih lambat sampai sekarang . pendekatan ekonomi tak bisa semata-mata diandalkan
sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis multidimensi di Indonesia.
Melainkan juga harus meliputi berbagai aspek lain seperti pembangunan struktur
sosial, budaya, dan politik yang solid, pemberdayaan fungsi-fungsi lembaga
politik dan birokrasi meningkatkan daya kohesivitas masyarakat. Pembanguan pada
saat itu berorientasi pada peningkatan ekonomi. Sehingga para ahli ekonom dan
ahli ekonomi tidak memperhatikan ketimpanganketimpangan yang terjadi pada saat
itu ketipangan itu terjadi dalam bentuk bentuk (Chaniago,2001)
1. ketimpangan antar golongan ekonomi masyarakat
2. ketimpangan antara kelompok usaha besar dan kecil
3. ketimpangan antar wilayah
4. ketimpangan natar sub wilayah di daerah yang
pertumbuhannya tinggi
5. ketimpangan laju pertumbuhan ekonomi antar sektor
6. ketimpangan antara ekonomi perkotaan dan pedesaan
7. ketimpangan pembangunan diri manusia Indonesia di lapisan masyarakat bawah
oleh
sebab itu, pendekatan ekonomi tak bisa semata-mata diandalkan sebagai
satu-satunya jalan keluar dari krisis multidimensi di Indonesia. Melainkan juga
harus meliputi berbagai aspek lain seperti pembangunan struktur sosial, budaya,
dan politik yang solid, pemberdayaan fungsi-fungsi lembaga politik dan
birokrasi meningkatkan daya kohesivitas masyarakat.
SISTEM AGRIBISNIS
Sistem agribisnis adalah satu kesatuan dari
subsistem-subsistem agribisnis. Subsistem agribisnis terdiri dari subsistem
hulu, subsistem on farm dan subsistem hilir. Sistem agribisnis di Indonesia
belum berjalan dengan baik karena antara subsistem satu dengan yang lainnya
tidak terintegrasi dan fungsi masing-masing subsistem belum bisa berjalan
dengan baik. Seperti dapat dilihat dari subsistem hulu yang menyediakan pasokan
input pertanian seperti pupuk, bibit, benih dan pestisida masih terdapat
kendala yaitu masih impornya bahan-bahan tersebut dan kadang harga pupuk yang
mahal sehingga petani berpikir dua kali untuk membelinya dan untuk
mendapatkannya kadang mencari pinjaman uang untuk membelinya. Dilihat dari
subsistem on farm yaitu pengelolaan usahataninya masih belum berjalan dengan
baik karena lahan yang semakin sempit dan risiko yang tinggi. Dan dilihat dari
subsistem hilirnya yaitu adanya kendala misal dari segi pemasaran yang bersaing
dengan produk impor dan dalam melakukan pemasaran dari daerah ke daerah
terdapat pungli sehingga keuntungan yang diharapkan tidak tercapai. Sehingga
dapat dilihat dari masing-masing subsistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa
sistem agribisnis di Indonesia belum berjalan dengan baik dan butuh kesadaran
masing-masing pihak tersebut agar sistem agribisnis dapat berjalan dengan baik.
Sektor pertanian di Indonesia buram yaitu benar, hal tersebut dapat dilihat
dari sektor pertanian yang semakin menghilang seiring waktu yang tergantikan
dengan sektor industri dan perumahan. Lahan yang menjadi komersial itu membuat
petani menjadi tertarik untuk menjualnya karena lebih menguntungkan dibanding
mengelola di sektor pertanian tersebut yang mendapatkan keuntungan lebih
sedikit. Hal tersebut yang dapat menyebabkan sektor pertanian di Indonesia
buram karena petani di Indonesia tidak dihargai hasilnya dengan mencantumkan
harga petani tersebut dengan harga yang murah sehingga kadang petani merasa dirugikan
sehingga banyak petani yang mulai meninggalkan profesi tersebut.
SOLUSI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
PETANI
Gapoktan yang merupakan lembaga yang dapat menaikkan posisi
tawar petani. Kebutuhan akan adanya kelembagaan gapoktan merupakan syarat
mutlak dan kebutuhan yang sangat mendesak.
Menurut Akhmad (2007), upaya yang harus dilakukan gapoktan untuk
menaikkan posisi tawar petani adalah dengan :
a. Konsolidasi petani
dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian,
dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan
dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi
kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran.
Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya,
misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggotanya
menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan
konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam
dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan
hutang tengkulak.
b. Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi
secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi
secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi
dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai
karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi dapat dilakukan
penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam
pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini
juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang
justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.
c. Kolektifikasi
dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi
biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar
produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan
untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani
dalam penentuan harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak
berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran,
namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen
dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai tata niaga yang
tidak menguntungkan.
Dalam meningkatkan kesejahteraan petani
dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya yaitu : Pertama, penguasaan
lahan yang adil melalui redistribusi tanah kepada petani tak bertanah adalah
syarat mutlak untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan petani serta
sekaligus untuk mengurangi konflik tanah. Pemerintah jangan terus-menerus
mengutamakan kepentingan pemilik modal dari pada kepentingan rakyat. Oleh sebab
itu, redistribusi tanah kepada petani adalah bentuk keberpihakan negara
terhadap kepentingan rakyat demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, pemberdayaan petani dan menjadikan
petani sebagai subyek dalam pembangunan, perlu didukung oleh semua pihak.
Begitu banyak lembaga atau pun instansi yang bergerak dalam bidang pertanian
seperti lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM), yang bisa menjadi motor pemberdayaan petani. Perlu adanya
dukungan pendidikan, penelitian, dan penyuluhan yang semakin memberdayakan
petani. Selain itu, perlu juga didukung dengan akses pasar dan insustri
pengolahan hasil pertanian.
Ketiga, pembangunan pedesaan hendaknya
diupayakan untuk melawan kemiskinan dan juga meredam urbanisasi. Pembangunan
pedesaan bukan hanya pembangunan fisik seperti infrastruktur (jalan, listrik,
jembatan, dan irigasi) tetapi juga bagaimana melibatkan penduduk desa
berpartisipasi aktif dalam melahirkan dan menentukan pemimpin, mengelola aset
di wilayah mereka dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya.
Terakhir, upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan petani, harus sejalan juga dengan program keluarga berencana
(KB), subsidi pendidikan dan kesehatan bagi petani, subsidi pertanian, dan
perlindungan produk (pertanian) dalam negeri.
Petani jika berusahatani secara individu
terus berada di pihak yang lemah karena petani secara individu akan mengelola
usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang
rendah. Menurut Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar petani
umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi
pasar dan permodalan yang kurang memadai.
Kelembagaan pertanian dalam hal ini mampu
memberikan jawaban atas permasalahan di atas. Penguatan posisi tawar petani
melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak
diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan
usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
PENUTUP
Kesimpulan
Peningkatan kesejahteraan petani dengan adanya
kesetaraan pendapatan antara petani pengusahan di on-farm dengan para pelaku lain di hulu maupun hilir dapat
dilakukan apabila petani bersatu menghimpun kekuatan dan tidak berjuang
sendiri-sendiri. Penghimpunan kekuatan dilakukan melalui seuatu kelembagaan
yang dapat menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka. Lembaga
ini hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan dan pengembangannya
dikendalikan sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus menjadi subjek dalam proses
tersebut.
Tujuan utama dari suatu kelembagaan di
petani adalah untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam menghadapi persoalan
ekonomi. Jika diambil dari pokok permasalahan, permasalahan ekonomi pada petani
secara garis besar adalah persoalan permodalan dan permasalahan dalam pemasaran
produk. Persoalan ini sult diselesaikan karena mayoritas petani Indonesia
adalah petani kecil yang berpencar-pencar sehingga tidak memiliki kekuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad, S., 2007. Membangun Gerakan
Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan Terhadap
Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian. Tegalan Diterbitkan oleh
BABAD. Purwokerto. Jawa Tengah.
Branson, R E. dan Douglas G.N., 1983.
Introduction to Agricultural Marketing, McGraw-Hill Book Company, New York,
USA.
Bpp
Ismpi. 2009. Kondisi Pertanian Indonesia saat ini Berdasarkan Pandangan
Mahasiswa Pertanian Indonesia. http://paskomnas.com/id/berita/Kondisi-Pertanian-Indonesia- saat-ini- Berdasarkan-Pandangan-Mahasiswa-Pertanian-Indonesia.php. (diakses pada tanggal
16 Februari 2013).
Chaniago A.A. 2001. Gagalnya Pertanian ; Kajian
Ekonomi Politik terhadap akar krisis Indonesia. LP3ES.
Jakarta.
Saragih, Bungaran.2002. pengembangan agribisnis
dalam pembangunan ekonomi nasional menghadapi abad ke
21.http/www. 202.159.18.43/jsi.htm(online). 18 Februari 2013
http://umsb.ac.id/files/1/MENARA/wedy29.pdf.(18
Februari 2013)
selalu jadi editor bil? :p
BalasHapusiya isti, soalnya ane ngumpulinnya belakangan mulu haha...
Hapusmantap. isinya padat dan rinci.
BalasHapus