Selasa, 19 Februari 2013

KOPERASI DAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS I


unduhan
PRAKTIKUM MK. KOPERASI DAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS
“Peran Koperasi dalam Perekonomian dan Pembangunan Sistem Agribisnis”
Oleh:
Dila Ratnasari (H34100013), Tuty Rachmawati (H34100028), Adelina Fitri (H341000), Sri Yulianti (H34100071), Sabilil Hakimi (H34100149), Sabila Mumtaz Khandari (H34100150)
Nilai

Dosen Praktikum      : Feryanto W K, SP, M.Si
Hari/Tanggal           : Kamis / 21 Februari 2013
Praktikum               : Minggu Ke-II
Ruang                     : RK AGB 202A

PENDAHULUAN
Latar Belakang
          Kenyataan dalam sejarah peradaban dunia bahwa tidak ada satu pun negara yang berhasil berkembang dan maju dengan mengesampingkan sektor pertanian. Berhasil atau tidak berkembangnya sektor pertanian disuatu negara akan berbanding lurus pada perekonomian negara. Di Indonesia, berkecimpung dan berperan aktif di dunia usaha pertanian akan dihadapkan banyak faktor-faktor hambatan yang menjadikan petani sulit untuk berkembang.
          Sistem agribisnis yang digembor-gemborkan untuk diterapkan di pertanian selama ini hanya sebatas menjadi teori. Kenyataannya di lapangan atau di sektor riilnya masih jauh dari teori tersebut. Sejauh ini, sistem agribisnis secara ideal belum bisa diterapkan kepada petani kecil karena masih lemahnya dukungan kelembagaan dari segala sisi baik pemerintah, akademisi (perguruan tinggi), maupun swata. Oleh karena itu, bantuan dan dukungan dari segala sisi dapat memerdekakan petani.      
         Berdasarkan teorinya, sistem agribisnis adalah suatu rangkaian kegiatan usaha pertanian yang didalamnya terdapat beberapa sub-sistem/cabang kegiatan yang memliki keterkaitan untuk saling mendukung dan mempengaruhi antar sub-sistem. Setidaknya ada lima sub-sistem yang saling terkait tersebut (Krisnamurthi dan Saragih, 1992). Kelima subsistem tersebut adalah (1) sub-sistem faktor input pertanian, (2) sub-sistem Usahatani, (3) sub-sistem pengolahan hasil pertanian, (4) sub-sistem pemasaran, dan (5) sub-sistem Penunjang. Pendekatan  sistem agribisnis erat kaitannya dengan peran kelembagaan di dalamnya (Zaki dan Fakhruddin, 2012).
Kelembagaan petani memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis pada petani kecil yang terpencar-pencar di pedesaan. Pada dasarnya kelembagaan memiliki dua pengertian, yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki (Hayami dan Kikuchi, 1981). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal dan informal mengenai tata hubungan manusia dan lingkunagnnya yang menyangkut hak-hak, perlindungan hak dan tanggung jawab. Sedangkan kelembagaan sebagai suatu organisasi menurut Winardi (2003), dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang dengan sadar memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu tujuan umum. Manfaat utama lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai kontrol sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan Darwis, 2003).
Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui Potensi sektor Agribisnis Indonesia
2.    Mengidentifikasi permasalahan-permasalah yang menghambat pembangunan pertanian Indonesia
3.    Memaparkan solusi dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani
Manfaat Penulisan
            Makalah ini bermanfaat untuk menganalisis dan identifikasi dari peran koperasi dalam membangun perekonomian bangsa serta sebagai solusi dalam peningkatan kesejahteraan petani dengan mengurai permasalahan-permasalahan sektor agribisnis yang menjadi penghambat kemajuan pertanian.
PEMBAHASAN
POTENSI SEKTOR AGRIBISNIS
Indonesia memiliki banyak potensi pertanian yang secara logika dapat dengan baik menjalankan sistem agribisnis karena kita bisa melihat dibandingkan dengan negara lain, negara kita banyak sekali kekayaan alam, melimpahnya bahan baku industri dan lain- lain. Namun sayangnya, sistem agribisnis di Indonesia belum berjalan dengan baik sesuai dengan funsinya masing- masing hal ini terjadi karena beberapa hal yaitu:
1.         Revitalisasi pertanian dan pencanangan keberpihakan pemerintah pada sektor ini masih berputar pada tataran konsep dan wacana, sementara kenyataan yang menghadang semakin petani sulit bernafas.
2.         Adanya keterbatasan bahan baku yang memiliki kualitas yang tinggi karena masih sulitnya pendanaan dan teknologi usahatani yang sesuai requirement bahan baku pertanian, kapabilitas sumberdaya manusia yang belum baik terkait kemampuan menggunakan teknologi yang berdampak pada efisiensi industri menjadi lebih rendah dari negara pesaing. Penyebab masalah tersebut adalah lemahnya pemberdayaan sumberdaya manusia berbasis riset dan sosialisasi hasil riset tersebut yang belum optimal terhadap masyarakat pertanian.
3.         Kebijakan pertanian yang ditetapkan pemerintah kerap tumpang tindih dan saling melakukan kanibalisme.
4.         Adanya penerapan suku bunga kredit usaha yang sama ditetapkan antara sektor agribisnis dan non agribisnis. Adapun sektor agirbisnis memiliki karakteristik yang lebih berisiko dari sektor non agribisnis sehingga penetapan suku bunga pinjaman usaha yang disama ratakan adalah tindakan yang kurang proposional.
5.         Dalam pengembangan agroindustri di Indonesia adalah rendahnya peningkatan kualitas dan mutu riset dari kalangan akademisi terkait pembaharuan teknologi di sektor agroindustri, sehingga Indonesia masih tergantung kepada tren teknologi yang ada di dunia tanpa melakukan inovasi guna memunculkan kekuatan diferensiasi produk pertanian Indonesia.
6.         Ketersediaan saran dan prasarana yang mendukung pengembangan pertanian di Indonesia masih belum berjalan sesuai harapan yang diinginkan petani.

Jika kita lihat, sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Benar seperti yang dikatakan oleh penulis, bahwa sektor pertanian kita “buram”. Sektor pertanian tidak mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini. Program-program pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran. Meski demikian sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan tenaga kerja dan sebagian besar penduduk kita tergantung padanya.
Beberapa gambaran yang menunjukkan beberapa sektor pertanian semakin memprihatinkan yaitu data kemiskinan dari BPS dapat menjadi gerbang awal untuk melihat kronisnya kondisi sektor ini. Jumlah rakyat miskin Indonesia 37,17 juta oraang atau16,59% dari total penduduk. Sebanyak 23,61 juta penduduk miskin itu berada di daerah pedesaan dan umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian. Bahkan 72 persen kelompok petani miskin adalh dari sunsektor pertanian pangan (BPS, 2007).
Data lain menunjukkan laju konversi lahan pertanian relatif tinggi. Jika tahun 2002 konversi lahan pertanian baru mencapai 110 ribu ha, pada empat tahun terakhir melonjak hingga 145 ribu ha. Informasi ini memberikan indikasi tentang semakin tidak menariknya sektor pertanian dibanding sektor lain. Petani lebih rela menjual lahan pertaniannya karena hasil panen dari tahun ke tahun sering tidak mampu mencukupi kebituhan hidupnya. Akibatnya banyak lahan pertanian yang dikonversi menjadi perumahan dan industri sektor lain.
Jumlah penduduk yang terus meningkat mengindikasikan betapa seriusnya tantangan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Pada titik tertentu ketika pertumbuhan penduduk tidak terkejar oleh pertumbuhan subsektor pertanian, kebijakan impor bahan pangan menjadi sebuah solusinya. Ini merupakan persoalan yang sudah menjadi rahasia umum bahwa impor kebutuhan pokok dari berbagai negara menjadi prolog dari episode buram sektor pertanian.
Dengan alasan untuk kestabilan harga, pemerintah terus melakukan impor barang kebutuhan pokok tersebut. Misalnya pemerintah mengimpor 40 ribu ton beras kualitas premium dari Thailand. Padahal, bahan pokok beras jenis premium selama ini diwakili oleh beras Cianjur dan IR- 64. Tentu petani tidak banyak mendapat manfaat dari kebijakan ini.
Kita juga bisa melihat dari data produktivitas pekerja Indonesia yang mengindikasikan tidak sehatnya kondisi sektor pertanian. Pada tahun 1997 seorang pekerja sektor pertanian hanya menghasilkan output senilai Rp. 1,7 juta selama satu tahun, sedangkan pada tahun yang sama seorang pekerja sektor industri menghasilkan Rp. 9,5 juta. Pada tahun 2005 pekerja di sektor pertanian menghasilkan Rp. 6,1 juta, sementara pekerja di sektor industri dapat meraup hingga Rp. 41,1 juta (BPS, 2006).
Dari beberapa gambaran diatas kita dapat melihat nasib petani dari waktu ke waktu cukup memprihatinkan. Maget sektor pertanian semakin melemah, daya pikatnya semakin menurun, sementara sektor industri yang dijadikan gantungan hidup. Perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa hal yang mendasari mengapa pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting, antara lain: potensi Sumber Daya Alam yang besar dan beragam, pangsa terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, besarnya pangsa terhadap ekspor nasional, besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Potensi pertanian Indonesia yang besar namun pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk golongan miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah kurang memberdayakan petani tetapi juga terhadap sektor pertanian keseluruhan.

Faktor-Faktor Hambatan Pertanian  Khususnya Masalah Kelembagaan Pertanian.
1. Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok. 
2.  Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini tercermin dari tingkat kehadiran anggota  dalam pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%) 
3.  Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok  sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang terbatas. 
4.  Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan. 
5.  Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat  ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas  orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama  yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat.  Untuk  ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya. 
6.  Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan  cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontaktani  memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach. 
7.  Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu,  namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah  tersedia.
 Permasalahan yang dihadapi petani pada umumnya adalah lemah dalam hal permodalan. Akibatnya tingkat penggunaan saprodi rendah, inefisien skala usaha karena umumnya berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi tawar ketika panen lemah. Selain itu produk yang dihasilkan petani relatif berkualitas rendah, karena umumnya budaya petani di pedesaan dalam melakukan praktek pertanian masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten), dan belum berorientasi pasar. Selain masalah internal petani tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti infrastruktur, lembaga ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan, dan  kebijakan pemerintah sangat diperlukan, guna mendorong usahatani dan meningkatkan akses petani terhadap pasar (Saragih, 2002). 
          Menurut pendapat kami memang terdapat penyimpangan dalam pembangunan pertanian kita  yang timbul pada petengahan tahun 1997 karena adanya kebijakan hyper- pragmatis yang menjadikan ekonomi nasional sebagai ladang bisnis bagi sekelompok konglomerat sehingga sektor pertanian menjadi korbannya yang  seperti yang di katakan  Andrinof A Chaniago (2001) ,kegagalan pembangunana yang di alami Indonesia bukan hanya karena persoalan ekonomi . kegagalan itu juga di sebabkan oleh pelapukan dalam periode yang panjang terhadap struktur sosial dan politik.Faktanya Pada awal masa orde baru pertumbuhan ekonomi cukup  baik ,namun kejayaan itu dihapuskan karena lahirnya kebijakan pemerintah yang tidak lagi berpihak pada sektor pertanian dan petani kecil. Kebijakan hyper-pragmatis menjadikan pembangunan ekonomi nasional sebagai ladang bisnis  bagi sekelompok konglomerat sehingga menyebabkan timbulnya ketimpangan pertumbuhan antar sektor dimana sektor pertanian menjadi korbannya. Ketimpangan inilah yang menyebabkan permasalahan yang timbul pada akhir masa pemerintahan orde baru yang menjadikan proses pemulihan ekonomi Indonesia masih lambat sampai sekarang . pendekatan ekonomi tak bisa semata-mata diandalkan sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis multidimensi di Indonesia. Melainkan juga harus meliputi berbagai aspek lain seperti pembangunan struktur sosial, budaya, dan politik yang solid, pemberdayaan fungsi-fungsi lembaga politik dan birokrasi meningkatkan daya kohesivitas masyarakat. Pembanguan pada saat itu berorientasi pada peningkatan ekonomi. Sehingga para ahli ekonom dan ahli ekonomi tidak memperhatikan ketimpanganketimpangan yang terjadi pada saat itu ketipangan itu terjadi dalam bentuk bentuk (Chaniago,2001)
1.     ketimpangan antar golongan ekonomi masyarakat
2.     ketimpangan antara kelompok usaha besar dan kecil
3.     ketimpangan antar wilayah
4.     ketimpangan natar sub wilayah di daerah yang pertumbuhannya tinggi
5.     ketimpangan laju pertumbuhan ekonomi antar sektor
6.     ketimpangan antara ekonomi perkotaan dan pedesaan
7.     ketimpangan pembangunan diri manusia Indonesia  di lapisan masyarakat bawah
oleh sebab itu, pendekatan ekonomi tak bisa semata-mata diandalkan sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis multidimensi di Indonesia. Melainkan juga harus meliputi berbagai aspek lain seperti pembangunan struktur sosial, budaya, dan politik yang solid, pemberdayaan fungsi-fungsi lembaga politik dan birokrasi meningkatkan daya kohesivitas masyarakat.
SISTEM AGRIBISNIS
           Sistem agribisnis adalah satu kesatuan dari subsistem-subsistem agribisnis. Subsistem agribisnis terdiri dari subsistem hulu, subsistem on farm dan subsistem hilir. Sistem agribisnis di Indonesia belum berjalan dengan baik karena antara subsistem satu dengan yang lainnya tidak terintegrasi dan fungsi masing-masing subsistem belum bisa berjalan dengan baik. Seperti dapat dilihat dari subsistem hulu yang menyediakan pasokan input pertanian seperti pupuk, bibit, benih dan pestisida masih terdapat kendala yaitu masih impornya bahan-bahan tersebut dan kadang harga pupuk yang mahal sehingga petani berpikir dua kali untuk membelinya dan untuk mendapatkannya kadang mencari pinjaman uang untuk membelinya. Dilihat dari subsistem on farm yaitu pengelolaan usahataninya masih belum berjalan dengan baik karena lahan yang semakin sempit dan risiko yang tinggi. Dan dilihat dari subsistem hilirnya yaitu adanya kendala misal dari segi pemasaran yang bersaing dengan produk impor dan dalam melakukan pemasaran dari daerah ke daerah terdapat pungli sehingga keuntungan yang diharapkan tidak tercapai. Sehingga dapat dilihat dari masing-masing subsistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa sistem agribisnis di Indonesia belum berjalan dengan baik dan butuh kesadaran masing-masing pihak tersebut agar sistem agribisnis dapat berjalan dengan baik. Sektor pertanian di Indonesia buram yaitu benar, hal tersebut dapat dilihat dari sektor pertanian yang semakin menghilang seiring waktu yang tergantikan dengan sektor industri dan perumahan. Lahan yang menjadi komersial itu membuat petani menjadi tertarik untuk menjualnya karena lebih menguntungkan dibanding mengelola di sektor pertanian tersebut yang mendapatkan keuntungan lebih sedikit. Hal tersebut yang dapat menyebabkan sektor pertanian di Indonesia buram karena petani di Indonesia tidak dihargai hasilnya dengan mencantumkan harga petani tersebut dengan harga yang murah sehingga kadang petani merasa dirugikan sehingga banyak petani yang mulai meninggalkan profesi tersebut.
SOLUSI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI
Gapoktan yang merupakan lembaga yang dapat menaikkan posisi tawar petani. Kebutuhan akan adanya kelembagaan gapoktan merupakan syarat mutlak dan kebutuhan yang sangat mendesak.  Menurut Akhmad (2007), upaya yang harus dilakukan gapoktan untuk menaikkan posisi tawar petani adalah dengan :
a. Konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggotanya menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang tengkulak.
b. Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.
c. Kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai tata niaga yang tidak menguntungkan.
Dalam meningkatkan kesejahteraan petani dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya yaitu : Pertama, penguasaan lahan yang adil melalui redistribusi tanah kepada petani tak bertanah adalah syarat mutlak untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan petani serta sekaligus untuk mengurangi konflik tanah. Pemerintah jangan terus-menerus mengutamakan kepentingan pemilik modal dari pada kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, redistribusi tanah kepada petani adalah bentuk keberpihakan negara terhadap kepentingan rakyat demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, pemberdayaan petani dan menjadikan petani sebagai subyek dalam pembangunan, perlu didukung oleh semua pihak. Begitu banyak lembaga atau pun instansi yang bergerak dalam bidang pertanian seperti lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang bisa menjadi motor pemberdayaan petani. Perlu adanya dukungan pendidikan, penelitian, dan penyuluhan yang semakin memberdayakan petani. Selain itu, perlu juga didukung dengan akses pasar dan insustri pengolahan hasil pertanian.
Ketiga, pembangunan pedesaan hendaknya diupayakan untuk melawan kemiskinan dan juga meredam urbanisasi. Pembangunan pedesaan bukan hanya pembangunan fisik seperti infrastruktur (jalan, listrik, jembatan, dan irigasi) tetapi juga bagaimana melibatkan penduduk desa berpartisipasi aktif dalam melahirkan dan menentukan pemimpin, mengelola aset di wilayah mereka dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya.
Terakhir, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani, harus sejalan juga dengan program keluarga berencana (KB), subsidi pendidikan dan kesehatan bagi petani, subsidi pertanian, dan perlindungan produk (pertanian) dalam negeri.
Petani jika berusahatani secara individu terus berada di pihak yang lemah karena petani secara individu akan mengelola usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Menurut Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai.
Kelembagaan pertanian dalam hal ini mampu memberikan jawaban atas permasalahan di atas. Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.


PENUTUP

Kesimpulan

          Peningkatan kesejahteraan petani dengan adanya kesetaraan pendapatan antara petani pengusahan di on-farm dengan para pelaku lain di hulu maupun hilir dapat dilakukan apabila petani bersatu menghimpun kekuatan dan tidak berjuang sendiri-sendiri. Penghimpunan kekuatan dilakukan melalui seuatu kelembagaan yang dapat menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka. Lembaga ini hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan dan pengembangannya dikendalikan sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus menjadi subjek dalam proses tersebut.
          Tujuan utama dari suatu kelembagaan di petani adalah untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam menghadapi persoalan ekonomi. Jika diambil dari pokok permasalahan, permasalahan ekonomi pada petani secara garis besar adalah persoalan permodalan dan permasalahan dalam pemasaran produk. Persoalan ini sult diselesaikan karena mayoritas petani Indonesia adalah petani kecil yang berpencar-pencar sehingga tidak memiliki kekuatan.


DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, S., 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian. Tegalan Diterbitkan oleh BABAD. Purwokerto. Jawa Tengah.
Branson, R E. dan Douglas G.N., 1983. Introduction to Agricultural Marketing, McGraw-Hill Book Company, New York, USA.
Bpp Ismpi. 2009. Kondisi Pertanian Indonesia saat ini Berdasarkan Pandangan Mahasiswa    Pertanian           Indonesia. http://paskomnas.com/id/berita/Kondisi-Pertanian-Indonesia-     saat-ini- Berdasarkan-Pandangan-Mahasiswa-Pertanian-Indonesia.php. (diakses pada tanggal 16     Februari 2013).

Chaniago A.A. 2001. Gagalnya Pertanian ; Kajian Ekonomi Politik terhadap akar krisis       Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Saragih, Bungaran.2002. pengembangan agribisnis dalam pembangunan ekonomi nasional   menghadapi abad ke 21.http/www. 202.159.18.43/jsi.htm(online). 18 Februari 2013
http://umsb.ac.id/files/1/MENARA/wedy29.pdf.(18 Februari 2013)

3 komentar: