Kenyataan dalam sejarah
peradaban dunia bahwa tidak ada satu pun negara yang berhasil berkembang dan
maju dengan mengesampingkan sektor pertanian. Berhasil atau tidak berkembangnya
sektor pertanian disuatu negara akan berbanding lurus pada perekonomian negara.
Di Indonesia, berkecimpung dan berperan aktif di dunia usaha pertanian akan
dihadapkan banyak faktor-faktor hambatan yang menjadikan petani sulit untuk
berkembang.
Sistem agribisnis yang
digembor-gemborkan untuk diterapkan di pertanian selama ini hanya sebatas
menjadi teori. Kenyataannya di lapangan atau di sektor riilnya masih jauh dari
teori tersebut. Sejauh ini, sistem agribisnis secara ideal belum bisa
diterapkan kepada petani kecil karena masih lemahnya dukungan kelembagaan dari
segala sisi baik pemerintah, akademisi (perguruan tinggi), maupun swata. Oleh
karena itu, bantuan dan dukungan dari segala sisi dapat memerdekakan petani.
Sistem Agribisnis dan Kelembagaan
Berdasarkan teorinya, sistem agribisnis
adalah suatu rangkaian kegiatan usaha pertanian yang didalamnya terdapat
beberapa sub-sistem/cabang kegiatan yang memliki keterkaitan untuk saling
mendukung dan mempengaruhi antar sub-sistem. Setidaknya ada lima sub-sistem
yang saling terkait tersebut (Krisnamurthi dan Saragih, 1992). Kelima subsistem
tersebut adalah (1) sub-sistem faktor input pertanian, (2) sub-sistem
Usahatani, (3) sub-sistem pengolahan hasil pertanian, (4) sub-sistem pemasaran,
dan (5) sub-sistem Penunjang. Pendekatan
sistem agribisnis erat kaitannya dengan peran kelembagaan di dalamnya
(Zaki dan Fakhruddin, 2012).
Kelembagaan petani
memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis pada
petani kecil yang terpencar-pencar di pedesaan. Pada dasarnya kelembagaan memiliki dua pengertian,
yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main dalam interaksi personal dan
kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki (Hayami dan
Kikuchi, 1981). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan
aturan baik formal dan informal mengenai tata hubungan manusia dan
lingkunagnnya yang menyangkut hak-hak, perlindungan hak dan tanggung jawab. Sedangkan kelembagaan sebagai suatu organisasi
menurut Winardi (2003), dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang
dengan sadar memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu tujuan umum. Manfaat utama lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu
sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai kontrol sosial, sehingga setiap
orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan
Darwis, 2003).
Faktor-Faktor
Hambatan Ekonomi Petani
Studi kasus selama tujuh bulan serta
turun langsung di dunia usaha pertanian mendapatkan setidaknya ada 2
permasalahan umum yang menjadi faktor penghambat petani untuk berkembang dalam
peningkatan kesejahteraan mereka sehingga dibutuhkan kelembagaan diantaranya
adalah:
1.
Lemahnya
bantuan dalam permodalan
Masalah
permodalan bagi petani di Indonesia sampai saat ini merupakan masalah klasik
yang sepertinya tak kunjung selesai. Atmosfir bisnis yang diciptikan pemerintah
dan perbankan tidak bersahabat dengan bisnis pertanian. Meski berbagai upaya
dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan bantuan modal, namun upaya itu tidak
sepenuhnya dapat mengatasi kesulitan modal bagi petani. Di sektor perbankan
juga tidak memberikan kontribusi yang begitu berarti kepada para petani kita.
Hal ini ditunjukkan dengan rumitnya persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pengajuan kredit, tingginya suku bunga, informasi yang masih
sukar dijangkau, panjangnya birokrasi, kurangnya penyuluhan dari pemerintah
serta persyaratan agunan yang dinilai memberatkan petani. Sehingga hal ini
berdampak pada lemahnya posisi tawar para petani dan pembangunan dibidang
pertanian semakin sulit untuk diwujudkan.
Akibatnya para petani lebih memilih untuk meminjam modal kepada
pelepas uang yang tidak resmi karena pencairan dana yang cepat seperti
tengkulak. Disinilah para petani menjadi tertekan dan semakin tidak “merdeka”
karena petani akan didikte oleh para tengkulak.
2.
Lemahnya
posisi tawar petani
Menurut Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar
petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar,
informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai. Permasalahan ini merupakan
buntut dari permasalahan permodalan. Ketika petani meminjam modal kepada oknum
tengkulak maka petani tersebut akan “diboikot” oleh tengkulak agar tidak
memasarkan produknya ke pasar lain. Akibatnya petani tidak leluasa untuk memasarkan
produknya dan sangat tergantung oleh tengkulak tersebut terlebih lagi harga
produknya 100% ditentukan oleh tengkulak tersebut.
Peningkatan produktifitas bukan lagi menjadi jaminan kepada
petani akan mendapatkan keuntungan yang berlebih dengan didiktenyaoleh satu
tengkulak. Akibatnya, petani menjadi tidak bergairah lagi untuk berusaha tani
dan lebih memilih untuk menjadi buruh tani. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu
kekuatan kolektif pada petani agar terciptanya keadilan pendapatan antara
pelaku on-farm dengan pelaku di hulu
maupun di hilir.
Peningkatan kesejahteraan petani
dengan adanya kesetaraan pendapatan antara petani pengusahan di on-farm dengan para pelaku lain di hulu
maupun hilir dapat dilakukan apabila petani bersatu menghimpun kekuatan dan
tidak berjuang sendiri-sendiri. Penghimpunan kekuatan dilakukan melalui seuatu
kelembagaan yang dapat menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka. Lembaga ini hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan
dan pengembangannya dikendalikan sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus
menjadi subjek dalam proses tersebut (Jamal, 2008).
Tujuan utama dari
suatu kelembagaan di petani adalah untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam
menghadapi persoalan ekonomi. Jika diambil dari pokok permasalahan, permasalahan
ekonomi pada petani secara garis besar adalah persoalan permodalan dan
permasalahan dalam pemasaran produk. Persoalan ini sult diselesaikan karena
mayoritas petani Indonesia adalah petani kecil yang berpencar-pencar sehingga
tidak memiliki kekuatan.
Modifikasi Gapoktan
Menjadi Perusahaan Pertanian (Agricultural Company)
Menurut Dwi Rahmina
Dosen Agribisnis IPB, perusahaan adalah suatu entitas bisnis dalam bentuk
kelompok yang menghasilkan produk sejenis. Perusahaan identik dengan suatu
lembaga bisnis yang memiliki sistem manajemem yang teratur dan rapih memiliki
kemerdekaan akses pasar dan adanya investasi saham yng menjalankan perusahaan
tersebut agar tujuan dari perusahaan tercapai. Tujuannya adalah diantaranya
kontinuitas dalam produksi dan mendapatkan laba dari kegiatan bisnis. Adanya
kemiripan konsep antara perusahaan dengan gapoktan dapat memodifikasi gapoktan
menjadi perusahaan pertanian menjadi suatu lembaga yang elegandan menaikkan
citra pertanian.
Gapoktan yang merupakan
lembaga yang dapat menaikkan posisi tawar petani. Kebutuhan akan adanya
kelembagaan gapoktan merupakan syarat mutlak dan kebutuhan yang sangat
mendesak. Menurut Akhmad
(2007), upaya yang harus dilakukan gapoktan untuk menaikkan posisi tawar petani
adalah dengan :
a.
Konsolidasi petani dalam satu wadah untuk
menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi
sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan
kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi
modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal
adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan
gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggotanya menyimpan tabungan
dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumtif. Hal ini
dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi
sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang tengkulak.
b.
Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk
menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini
perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi
yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala
yang lebih besar dan terkoordinasi dapat dilakukan penghematan biaya dalam
pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya
dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari
kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan merugikan,
misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.
c.
Kolektifikasi dalam pemasaran produk
pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan
skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam
perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis
jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan
harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus
peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan
utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat
pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai tata niaga yang tidak
menguntungkan.
Gapoktan yang
dimodifikasi menjadi perusahaan pertanian akan memiliki manajemenisasi yang
baik dan terstruktur. Keberhasilan modifikasi akan semakin terasa apabila 3
aspek kolektifikasi terpenuhi. Petani menjadi pemilik saham dengan adanya
kepemilikan lahan sehingga adanya rasa tanggung jawab kepada perusahaan.
Keuntungannya adalah menaikkan bargaining position petani dalam pemasaran
produk dengan adanya keadilan harga produk antara pelaku agribisnis dan adanya
kekuatan permodalan yang akan didukung oleh lembaga perbankan karena potensi
akan proses kredit bisa berjalan lancar. Dengan demikian petani akan “merdeka”
dalam pemasaran, pendapatan petani akan meningkat, produktifitas produk akan
berbanding sejajar dengan pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani akan
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad,
S., 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan;
Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian. Tegalan
Diterbitkan oleh BABAD. Purwokerto. Jawa Tengah.
Branson,
R E. dan Douglas G.N., 1983. Introduction to Agricultural Marketing,
McGraw-Hill Book Company, New York, USA.
Elizabeth,
R dan Darwis, V., 2003. Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya Terhadap
Program JPS di Propinsi Jawa Timur. SOCA. Bali.
Jamal,
H, 2008. Mengubah Orientasi Penyuluhan Pertanian. Balitbang Provinsi
Jambi. Jambi Ekspress Online. Diakses tanggal 18 Februari 2008.
Hayami, Y dan M. Kikuchi. 1981. Asian Village
Economy at the Crossroad An Economic Approach To Institutional Change. Tokyo:
University of Tokyo Press.
Krisnamurthi,
Y.B. dan B. Saragih. 1992. Perkembangan agribisnis kecil. Mimbar sosek No.6
Desember 1992. Sosek Faperta IPB, Bogor.
Winardi, J.
2003. Teori Organisasi dan Pola Pengorganisasian. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Zaki dan
Fakhruddin, 2012. Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Berbasis
Koperasi Untuk Peningkatan Daya Saing dan Kesejahteraan Petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar