Rabu, 06 Februari 2013

BANTU, DUKUNG, DAN MERDEKAKAN PETANI


Kenyataan dalam sejarah peradaban dunia bahwa tidak ada satu pun negara yang berhasil berkembang dan maju dengan mengesampingkan sektor pertanian. Berhasil atau tidak berkembangnya sektor pertanian disuatu negara akan berbanding lurus pada perekonomian negara. Di Indonesia, berkecimpung dan berperan aktif di dunia usaha pertanian akan dihadapkan banyak faktor-faktor hambatan yang menjadikan petani sulit untuk berkembang.
          Sistem agribisnis yang digembor-gemborkan untuk diterapkan di pertanian selama ini hanya sebatas menjadi teori. Kenyataannya di lapangan atau di sektor riilnya masih jauh dari teori tersebut. Sejauh ini, sistem agribisnis secara ideal belum bisa diterapkan kepada petani kecil karena masih lemahnya dukungan kelembagaan dari segala sisi baik pemerintah, akademisi (perguruan tinggi), maupun swata. Oleh karena itu, bantuan dan dukungan dari segala sisi dapat memerdekakan petani.
         
Sistem Agribisnis dan Kelembagaan   

         Berdasarkan teorinya, sistem agribisnis adalah suatu rangkaian kegiatan usaha pertanian yang didalamnya terdapat beberapa sub-sistem/cabang kegiatan yang memliki keterkaitan untuk saling mendukung dan mempengaruhi antar sub-sistem. Setidaknya ada lima sub-sistem yang saling terkait tersebut (Krisnamurthi dan Saragih, 1992). Kelima subsistem tersebut adalah (1) sub-sistem faktor input pertanian, (2) sub-sistem Usahatani, (3) sub-sistem pengolahan hasil pertanian, (4) sub-sistem pemasaran, dan (5) sub-sistem Penunjang. Pendekatan  sistem agribisnis erat kaitannya dengan peran kelembagaan di dalamnya (Zaki dan Fakhruddin, 2012).
Kelembagaan petani memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis pada petani kecil yang terpencar-pencar di pedesaan. Pada dasarnya kelembagaan memiliki dua pengertian, yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki (Hayami dan Kikuchi, 1981). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal dan informal mengenai tata hubungan manusia dan lingkunagnnya yang menyangkut hak-hak, perlindungan hak dan tanggung jawab. Sedangkan kelembagaan sebagai suatu organisasi menurut Winardi (2003), dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang dengan sadar memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu tujuan umum. Manfaat utama lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai kontrol sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan Darwis, 2003).


Faktor-Faktor Hambatan Ekonomi Petani    
          Studi kasus selama tujuh bulan serta turun langsung di dunia usaha pertanian mendapatkan setidaknya ada 2 permasalahan umum yang menjadi faktor penghambat petani untuk berkembang dalam peningkatan kesejahteraan mereka sehingga dibutuhkan kelembagaan diantaranya adalah:

1.    Lemahnya bantuan dalam permodalan
      Masalah permodalan bagi petani di Indonesia sampai saat ini merupakan masalah klasik yang sepertinya tak kunjung selesai. Atmosfir bisnis yang diciptikan pemerintah dan perbankan tidak bersahabat dengan bisnis pertanian. Meski berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan bantuan modal, namun upaya itu tidak sepenuhnya dapat mengatasi kesulitan modal bagi petani. Di sektor perbankan juga tidak memberikan kontribusi yang begitu berarti kepada para petani kita.
      Hal ini ditunjukkan dengan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan kredit, tingginya suku bunga, informasi yang masih sukar dijangkau, panjangnya birokrasi, kurangnya penyuluhan dari pemerintah serta persyaratan agunan yang dinilai memberatkan petani. Sehingga hal ini berdampak pada lemahnya posisi tawar para petani dan pembangunan dibidang pertanian semakin sulit untuk diwujudkan.
      Akibatnya para petani lebih memilih untuk meminjam modal kepada pelepas uang yang tidak resmi karena pencairan dana yang cepat seperti tengkulak. Disinilah para petani menjadi tertekan dan semakin tidak “merdeka” karena petani akan didikte oleh para tengkulak.
2.    Lemahnya posisi tawar petani
          Menurut Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai. Permasalahan ini merupakan buntut dari permasalahan permodalan. Ketika petani meminjam modal kepada oknum tengkulak maka petani tersebut akan “diboikot” oleh tengkulak agar tidak memasarkan produknya ke pasar lain. Akibatnya petani tidak leluasa untuk memasarkan produknya dan sangat tergantung oleh tengkulak tersebut terlebih lagi harga produknya 100% ditentukan oleh tengkulak tersebut.
          Peningkatan produktifitas bukan lagi menjadi jaminan kepada petani akan mendapatkan keuntungan yang berlebih dengan didiktenyaoleh satu tengkulak. Akibatnya, petani menjadi tidak bergairah lagi untuk berusaha tani dan lebih memilih untuk menjadi buruh tani. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kekuatan kolektif pada petani agar terciptanya keadilan pendapatan antara pelaku on-farm dengan pelaku di hulu maupun di hilir.
     
          Peningkatan kesejahteraan petani dengan adanya kesetaraan pendapatan antara petani pengusahan di on-farm dengan para pelaku lain di hulu maupun hilir dapat dilakukan apabila petani bersatu menghimpun kekuatan dan tidak berjuang sendiri-sendiri. Penghimpunan kekuatan dilakukan melalui seuatu kelembagaan yang dapat menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka. Lembaga ini hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan dan pengembangannya dikendalikan sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus menjadi subjek dalam proses tersebut (Jamal, 2008).
          Tujuan utama dari suatu kelembagaan di petani adalah untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam menghadapi persoalan ekonomi. Jika diambil dari pokok permasalahan, permasalahan ekonomi pada petani secara garis besar adalah persoalan permodalan dan permasalahan dalam pemasaran produk. Persoalan ini sult diselesaikan karena mayoritas petani Indonesia adalah petani kecil yang berpencar-pencar sehingga tidak memiliki kekuatan.

Modifikasi Gapoktan Menjadi Perusahaan Pertanian (Agricultural Company)         
          Menurut Dwi Rahmina Dosen Agribisnis IPB, perusahaan adalah suatu entitas bisnis dalam bentuk kelompok yang menghasilkan produk sejenis. Perusahaan identik dengan suatu lembaga bisnis yang memiliki sistem manajemem yang teratur dan rapih memiliki kemerdekaan akses pasar dan adanya investasi saham yng menjalankan perusahaan tersebut agar tujuan dari perusahaan tercapai. Tujuannya adalah diantaranya kontinuitas dalam produksi dan mendapatkan laba dari kegiatan bisnis. Adanya kemiripan konsep antara perusahaan dengan gapoktan dapat memodifikasi gapoktan menjadi perusahaan pertanian menjadi suatu lembaga yang elegandan menaikkan citra pertanian.
Gapoktan yang merupakan lembaga yang dapat menaikkan posisi tawar petani. Kebutuhan akan adanya kelembagaan gapoktan merupakan syarat mutlak dan kebutuhan yang sangat mendesak.  Menurut Akhmad (2007), upaya yang harus dilakukan gapoktan untuk menaikkan posisi tawar petani adalah dengan :
a. Konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggotanya menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang tengkulak.
b. Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.
c. Kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai tata niaga yang tidak menguntungkan.
          Gapoktan yang dimodifikasi menjadi perusahaan pertanian akan memiliki manajemenisasi yang baik dan terstruktur. Keberhasilan modifikasi akan semakin terasa apabila 3 aspek kolektifikasi terpenuhi. Petani menjadi pemilik saham dengan adanya kepemilikan lahan sehingga adanya rasa tanggung jawab kepada perusahaan. Keuntungannya adalah menaikkan bargaining position petani dalam pemasaran produk dengan adanya keadilan harga produk antara pelaku agribisnis dan adanya kekuatan permodalan yang akan didukung oleh lembaga perbankan karena potensi akan proses kredit bisa berjalan lancar. Dengan demikian petani akan “merdeka” dalam pemasaran, pendapatan petani akan meningkat, produktifitas produk akan berbanding sejajar dengan pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani akan meningkat.
                   
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad, S., 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian. Tegalan Diterbitkan oleh BABAD. Purwokerto. Jawa Tengah.
Branson, R E. dan Douglas G.N., 1983. Introduction to Agricultural Marketing, McGraw-Hill Book Company, New York, USA.
Elizabeth, R dan Darwis, V., 2003. Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya Terhadap Program JPS di Propinsi Jawa Timur. SOCA. Bali.
Jamal, H, 2008. Mengubah Orientasi Penyuluhan Pertanian. Balitbang Provinsi Jambi. Jambi Ekspress Online. Diakses tanggal 18 Februari 2008.
Hayami, Y dan M. Kikuchi. 1981. Asian Village Economy at the Crossroad An Economic Approach To Institutional Change. Tokyo: University of Tokyo Press.
Krisnamurthi, Y.B. dan B. Saragih. 1992. Perkembangan agribisnis kecil. Mimbar sosek No.6 Desember 1992. Sosek Faperta IPB, Bogor.
Winardi, J. 2003. Teori Organisasi dan Pola Pengorganisasian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zaki dan Fakhruddin, 2012. Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Berbasis Koperasi Untuk Peningkatan Daya Saing dan Kesejahteraan Petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar