Minggu, 05 Mei 2013

Mau dibawa kemana Koperasi Indonesia??

Pro-kontra ekonomi kerakyatan versus neoliberalisme yang berlangsung belakangan ini sangat relevan untuk dikaitkan dengan koperasi. Penjelasanannya sangat sederhana. Walaupun bukan satu-satunya unsur penting ekonomi kerakyatan, namun koperasi wajib dipandang sebagai primadona ekonomi kerakyatan.
Hal itu dapat disimak berdasarkan bunyi Pasal 33 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 berikut, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”  Bung Hatta berulangkali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” itu ialah koperasi. Sebab itu, mudah dimengerti, bila dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 (sebelum dihapuskan), tercantum kalimat yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu (ekonomi kerakyatan – pen.), ialah koperasi.”
Artinya, dalam sistem ekonomi kerakyatan, koperasi tidak hanya diakui sebagai bentuk perusahaan yang ideal, tetapi sekaligus ditetapkan sebagai model mikro sistem perekonomian Indonesia. Sebab itu, mudah dipahami pula bila Bung Hatta pernah berkata, “Jadinya Indonesia ibarat satu taman yang berisi pohon-pohon koperasi, yang buahnya dipungut oleh rakyat yang banyak,” (Hatta, 1932).
Pertanyaannya, ditengah-tengah situasi perkoperasian Indonesia yang terus menerus mengalami penggerogotan jati diri sebagaimana berlangsung 42 tahun belakangan ini, masih relevankah mengharapkan kehadiran ekonomi kerakyatan sebagai alternatif sistem perekonomian Indonesia?
Sebagian besar diantara kita mungkin akan menjawab dengan kata-kata “tidak.” Tapi nanti dulu. Jawaban yang lebih tepat, saya kira, harus dicari dengan menelusuri latar belakang penggerogotan jati diri koperasi tersebut. Faktor apakah yang memicu penggerogotan jati diri koperasi, yang sepintas lalu tampak alamiah itu?
Jawabannya antara lain dapat ditelusuri pada penerbitan UU Koperasi No. 12/1967. Sebagaimana UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang membatalkan UU No. 16/1965 tentang pengakhiran segala bentuk keterlibatan modal asing, maka UU Koperasi No. 12/1967 adalah pengganti UU Koperasi No. 14/1965. Artinya, dalam pandangan sepintas, dengan mudah dapat disaksikan bahwa penerbitan UU Koperasi No. 12/1967 hampir mustahil dapat dipisahkan dari proses peralihan kekuasaan dari pemerintahan Soekarno yang kekiri-kirian, ke pemerintahan Soeharto yang pro Amerika.
Pertanyaannya, perubahan mendasar apakah yang terjadi dalam UU Koperasi No. 12/1967? Saya disini tidak akan membandingkan UU Koperasi pemerintahan Soeharto itu dengan UU Koperasi No. 14/1965. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih objektif, saya akan membandingkannya dengan UU Koperasi No. 79/1958.
Salah satu hal yang sangat mendasar dalam koperasi adalah mengenai kriteria keanggotaannya. Dalam UU Koperasi No. 79/1958, kriteria keanggotaan koperasi diatur dalam Pasal 18.  Bunyinya, yang dapat menjadi anggota koperasi adalah yang “mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang diselenggarakan oleh koperasi.” Artinya, sesuai dengan penjelasan Bung Hatta mengenai perbedaan koperasi dengan perusahaan perseroan, “Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama” (Hatta, 1954).
Bandingkanlah hal tersebut dengan kriteria keanggotaan koperasi dalam UU Koperasi No. 12/1967. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11, keanggotaan koperasi “didasarkan pada kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi.” Selanjutnya, menurut Pasal 17, yang dimaksud dengan anggota yang memiliki “kesamaan kepentingan” adalah, “suatu golongan dalam masyarakat yang homogen karena kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonominya.”
Implikasi perubahan kriteria keanggotaan itu adalah pada berubahnya corak koperasi yang berkembang di Indonesia. Sebelum 1967, koperasi cenderung berkembang berdasarkan jenis usahanya. Tetapi setelah 1967, jenis koperasi yang tumbuh pesat adalah koperasi golongan fungsional seperti koperasi pegawai negeri sipil, koperasi angkatan bersenjata, koperasi karyawan, dan koperasi mahasiswa.
Yang mencolok adalah pembentukan induk-induk koperasi dalam lingkungan angkatan bersenjata. Jika koperasi-koperasi golongan fungsional yang lain tergabung dalam satu induk koperasi, maka dalam lingkungan angkatan bersenjata terdapat enam induk koperasi, yaitu Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad), Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal), Induk Koperasi Angkatan Udara (Inkopau), Induk Koperasi Kepolisian (Inkoppol), Induk Koperasi Purnawirawan ABRI (Inkopabri), dan Induk Koperasi Veteran (Inkoveri).
Karena keanggotaan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) diwakili oleh Induk-induk Koperasi dan Dewan-dewan Koperasi Wilayah, maka sejak 1967, kepengurusan gerakan koperasi cenderung didominasi oleh keluarga besar angkatan bersenjata. Bersamaan dengan itu, koperasi yang secara yuridis dideklarasikan sebagai gerakan ekonomi rakyat, maka dalam era pemerintahan Soeharto berubah fungsi menjadi alat kekuasaan.
Pada 1992 memang terbit UU Koperasi No. 25/1992. Namun secara substansial tidak terjadi perubahan apa pun mengenai kriteria keanggotaan koperasi. Puncak penggerogotan jati diri koperasi bahkan terjadi pada Juli 1997, sepuluh bulan sebelum kejatuhan Soeharto, yaitu ketika Dekopin menganugerahkan gelar Bapak Penggerak Koperasi kepada Soeharto.
Sejak kejatuhan Soeharto, koperasi praktis terlupakan. Lebih-lebih setelah berlangsung amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 pada 2002. Dengan dihapuskannya penjelasan Pasal 33 UUD 1945, maka penggalan kalimat yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”  tadi, turut menguap bersama hilangnya penjelasan tersebut.
Kesimpulannya sangat jelas. Penggerogotan jati diri koperasi tidak terjadi secara alamiah, melainkan dilakukan secara sistematis. Tujuannya, sesuai dengan semangat UU No. 1/1967 tentang PMA, adalah untuk melempangkan jalan bagi masuknya modal asing ke sini.
Jika dilihat dari sudut pro-kontra ekonomi kerakyatan versus neoliberalisme, maka penggerogotan jati diri koperasi yang telah berlangsung 42 tahun itu, harus dilihat sebagai upaya sistematis pihak kolonial, yang berkolaborasi dengan penguasa domestik, untuk membunuh ekonomi kerakyatan dan mengembangkan neoliberalisme di negeri ini.
Sebab itu, sebagai bagian integral dari perlawanan terhadap neoliberalisme, penyelamatan koperasi dengan cara memulihkan jati dirinya mutlak dilakukan. Ajakan ini tidak tertuju kepada warga koperasi yang telah terkontaminasi oleh neoliberalisme, melainkan kepada mereka yang masih setia pada cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi yang asli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar